Minggu, 03 Desember 2017

Kajian Masalah Perpustakaan : Gedung Perpustakaan



LATAR BELAKANG

Perpustakaan Umum atau dalam bahasa inggris adalah public library merupakan perpustakaan yang diselenggarakan oleh dana umum dengan tujuan melayani umum. Menurut Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten/Kota pasal 2 mencakup salah satu Standar Nasional Perpustakaan yakni standar sarana dan prasarana perpustakaan. Salah satu point penting standar sarana dan prasara perpustakaan ialah Gedung Perpustakaan. Gedung perpustakaan merupakan sarana penting dalam penyelenggaraan perpustakaan. Perpustakaan sebagai unit pelayanan jasa, harus memiliki sarana kerja yang cukup dan permanen untuk menampung semua koleksi, fasilitas, staf dan kegiatan perpustakaan sebagai unit kerja.
Adapun Standar Nasional Gedung Perpustakaan Kabupaten/Kota yakni :
1) Luas bangunan gedung perpustakaan paling sedikit 0,008 m2 per kapita dan bersifat permanen yang memungkinkan pengembangan fisik secara berkelanjutan.
2) Gedung perpustakaan memenuhi standar konstruksi, teknologi, lingkungan, ergonomik, kesehatan, keselamatan, kecukupan, estetika, efektif dan efisien.
3) Gedung perpustakaan dilengkapi dengan area parkir, fasilitas umum, dan fasilitas khusus.
Setiap penyelenggara dan/atau pengelola perpustakaan kabupaten/kota wajib berpedoman pada Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten/Kota. Namun kenyataannya tidak semua perpustakaan kabupaten/kota melakukan penyelenggaraan dan pengelolaan berpedoman pada Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten/Kota tersebut. Seperti halnya yang terjadi di Perpustakaan Umum Kota Denpasar. Penyelenggaraan Gedung Perpustakaan Umum Kota Denpasar  masih belum  sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan. Penyelenggaraan dan pengelolaan Gedung Perpustakaan Umum Kota Denpasar masih kurang maksimal seperti kurang tersedianya fasilitas parkir baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat bagi pengunjung; dan Pemanfaatan ruang yang menggunakan gedung perkantoran sehingga kebutuhan ruang dan bentuk bangunan secara perancangan arsitektur tidak mencerminkan sebuah perpustakaan umum.
 
KAJIAN PUSTAKA

2.1  Gedung Perpustakaan
Gedung perpustakaan adalah bangunan yang sepenuhnya diperuntukan bagi seluruh aktivitas sebuah perpustakaan. Disebut gedung apabila merupakan bangunan besar dan permanen, terpisah pergerakan manusia sebagai pengguna perpustakaan, daerah konsentrasi manusia, daerah konsentrasi buku atau barang, dan titik-titik layanan yang diberikan oleh perpustakaan. Untuk itu, keberadaan gedung perpustakaan secara mutlak perlu ada, karena perpustakaan tidak mungkin digabungkan dengan unit-unit kerja yang lain di dalam satu ruangan (Sutarno, 2006). Sebuah organisasi atau institusi yang akan membangun perpustakaan harus memperhatikan banyak aspek untuk pengoptimalan fungsi perpustakaan. Salah satu aspek tersebut adalah lokasi gedung perpustakaan. Lokasi gedung perpustakaan umum hendaknya memilih lokasi yang strategis dan mudah diakses.
 
Menurut Sulistyo-Basuki (1991 : 307) “Untuk perpustakaan umum, lokasi yang dipilih hendaknya merupakan lokasi yang sering dan mudah dikunjungi umum, bahkan kalau mungkin perpustakaan harus berada di lokasi yang lebih sering didatangi orang daripada tempat lain”. Menurut Soekarman (2000:50) untuk luas gedung perpustakaan umum yang ideal atau standarnya yaitu sekurang-kurangnya 200 m2 dengan luas tanah sekitar 2000 m2.
Menurut  Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten/Kota.
Gedung :
1) Luas bangunan gedung perpustakaan paling sedikit 0,008 m2 per kapita dan bersifat permanen yang memungkinkan pengembangan fisik secara berkelanjutan.
2) Gedung perpustakaan memenuhi standar konstruksi, teknologi, lingkungan, ergonomik, kesehatan, keselamatan, kecukupan, estetika, efektif dan efisien.
3) Gedung perpustakaan dilengkapi dengan area parkir, fasilitas umum, dan fasilitas khusus   

Gedung perpustakaan sebagai pusat informasi bagi pemakai perlu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas pemakai sebagai berikut:
1. Pemecahan sebaik mungkin menyangkut kebutuhan unit informasi,
2. Kemudahan akses bagi pemakai,
3. Ruang kerja yang cukup dan terencana bagi staf dan pemakai,
4. Mempertimbangkan kebutuhan di masa yang akan datang,
5. Menghindari perlengkapan yang tidak perlu,
6. Fasilitas teknis yang cukup seperti penerangan, suhu, sarana komunikasi
(Sulistyo-Basuki, 1993: 115).


Senin, 27 November 2017

Tradisi Unik Desa Seraya, Karangasem, Bali



Hallo guys.. Tulisan kali ini masih berkaitan dengan tulisan sebelumnya mengenai Desa Seraya, Karangasem, Bali. Kali ini saya akan menuliskan tentang Tradisi dan Budaya di Desa Seraya , Karangasem, Bali. Yuk disimak. 

Desa Seraya merupakan salah satu desa tua yang ada di Bali. Dalam berkomunikasi masyarakat Desa Seraya memiliki bahasa Seraya yaitu   bahasa khas yang mereka miliki dari turun temurun di samping bahasa Bali. Bahasa Seraya digunakan hanya kepada penduduk asli Seraya. Selain itu di Desa Seraya juga ada Nyanyi-nyanyian. Desa Seraya memiliki nyanyi-nyanyian sakral yang dilatunkan pada saat ada upacara tertentu atau pada saat adanya penduduk desa yang meninggal.  Desa Seraya terletak di 7 km dari Kecamatan Karangasem, 7 km dari Kabupaten Karangasem, 86 km dari ibu kota Provinsi Bali yaitu Denpasar. Batas-batas Desa Seraya secara geografis dapat dilihat sebagai berikut : sebelah utara ada desa Bukit, sebelah timur ada desa Tulamben, sebelah barat ada desa Tumbu, Ujung hyang dan sebelah selatan ada selat lombok atau laut. Desa Seraya terdiri dari tiga desa kedinasan yaitu Seraya Barat, Seraya Tengah dan Seraya Timur dengan luas wilayah 295 km yang memiliki ketinggian 30-500 m dari permukaan laut dengan kemiringan rata-rata 4,5 dengan iklim tropis dan curah hujan rata-rata 74 hari pertahun. Tanaman yang dikembangkan adalah kelapa, jagung, kacang dan tanaman lainnya yang tahan terhadap cuaca yang panas dengan musim tanam setahun sekali. Di Desa Seraya terdapat berbagai tradisi unik yang sampai saat ini masih ada dan lestari. Adapun tradisi unik tersebut yakni :
1.   GEBUG ENDE

 
Gebug Ende Seraya  atau juga bisa disebut perang rotan, merupakan warisan budaya dan tradisi leluhur yang masih dilakoni oleh warga sampai saat ini, tradisi unik ini digelar berkaitan dengan musim kemarau atau bisa dibilang untuk memohon turun hujan pada sasih Kapat (kalender Hindu Bali) atau pada bulan Oktober – Nopember. Desa Seraya sendiri terletak di sebuah dataran tinggi, di mana kondisi geografisnya akan cenderung terlihat tanahnya tandus dan kering pada musim kemarau panjang, hal ini tentu tidak menguntungkan bagi petani yang mengandalkan pertanian tadah hujan, yang mampu dilakukan adalah usaha ritual agar turunnya hujan, diawali dengan melakukan persembahyangan dengan berbagai banten (sesajen), kemudian dilanjutkan dengan adu ketangkasan ini yang tidak main-main dan perlu  keahlian khusus, yang mana 2 orang pria saling berhadapan untuk bertanding, membawa tongkat dari rotan dengan panjang 1.5 - 2 meter yang digunakan untuk memukul/ menggebug (GEBUG) lawan, dan di salah satu tangannya, biasanya yang sebelah kiri membawa tameng (ENDE) berbentu bundar yang digunakan menangkis serangan lawan. Di Desa Seraya hasil bumi yang terkenal adalah jagung Seraya yang terkenal gurih dan empuk, mata pencaharian masyarakat sebagai petani, itulah sebabnya kebutuhan air adalah prioritas utama di desa ini, untuk itu Gebug Ende selalu digelar untuk memohon turunnya hujan. Mereka yang bertanding dipimpin oleh seorang wasit yang dinamakan Saye dan memberikan intruksi mana yang boleh di serang, mereka pada umumnya tidak mengenakan baju sehingga tongkat kayu akan langsung mengenai tubuh. Diiringi oleh gamelan yang memacu semangat mereka bertarung, ritual akan lebih baik jika ada yang terluka dan meneteskan darahnya. Memang perlu keahlian khusus, dan sedikit berbahaya. Pementasan perang tanding dalam tradisi Gebug Ende tersebut, berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan warga yang berhubungan juga dengan ritual keagamaan. Ini cukup menarik untuk bisa anda saksikan, namun demikian tentu perlu moment yang tepat karena  hanya dipentaskan dalam waktu-waktu tertentu juga. 

2.  MAGENJEKAN


Genjek atau megenjekan berasal dari kata gonna yang berarti gegonjakan, candaan atau senda gurau. Sejarah atau awal mulai dari tarian Genjek ini, tentunya berbeda dengan tari tradisional lainnya yang diciptakan oleh maestro seni, namun berawal dari acara kumpul-kumpul setelah beraktifitas kemudian ditemani dengan tuak sejenis minuman beralkohol yang dihasilkan dari pohon lontar, kelapa ataupun enau. Yang mana kawasan Desa Seraya ini merupakan penghasil minuman tuak dan memiliki mutu baik, termasuk dalam perkembangannya sekarang ini tuak juga diolah menjadi arak dengan konsentrasi alkohol yang cukup tinggi. Kumpul bersama sambil minum alkohol sejenis tuak ini dikenal warga sebagai tradisi “metuakan” tentunya kebiasaan seperti ini dilakukan oleh kaum laki-laki saja, semakin lama tentunya semakin hilang kesadaran alias mabuk, mereka mulai bernyanyi meluapkan kegembiraannya, diikuti oleh teman lainnya. Akhirnya kebiasaan "metuakan" ini hampir pasti dibarengi dengan megenjekan atau tarian genjek tersebut, metuakan tanpa genjek terasa kurang pas. Akhirnya munculah grup-grup genjek menciptakan gending (nyanyian) dan akhirnya digunakan saat acara metuakan, beberapa group genjek juga menciptakan album genjek yang bisa didengarkan dan ditiru oleh setiap orang, sehingga nantinya bisa ditiru dalam setiap acara minum bersama dan tanpa dikomando akan diikuti oleh teman lainnya. Tari Genjek merupakan tari pergaulan, sangat universal, sangat menyesuaikan dengan suasana dan perkembangan terkini, tidak terpaku pada gerakan atau olah vokal yang baku, mereka bebas berkreasi, seorang pembawa lagu (gending) bahkan bebas secara spontan menciptakan lagu sendiri atau mengenalkan lagu baru, yang menuntut kemahiran teman lainnya untuk mengikutinya dengan suara vokal yang sesuai termasuk kekompakan vokal pengiring. Dan sebuah kebanggaan jika mereka sanggup dan bisa kompak dalam mengiringi lagu yang dibawakan oleh pembawa lagu. Tema lagu yang dibawakan biasanya berisi nasehat, rayuan, kritik, motivasi, pujian bahkan sindiran yang sangat komunikatif.

3.  MEGIBUNG
 

Megibung adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau sebagian orang untuk duduk bersama saling berbagi satu sama lain, terutama dalam hal makanan. Tidak hanya perut kenyang yang diperoleh dari kegiatan ini, namun sembari makan kita dapat bertukar pikiran bahkan bersenda gurau satu sama lain.  Megibung berasal dari kata “gibung” yang mendapat awalan “me-“. Gibung berarti kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang yaitu saling berbagi antara orang yang satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan “me-” berarti melakukan suatu kegiatan. Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Seraya dan Desa lainnya di Karangasem yang daerahnya terletak di ujung timur Pulau Dewata.Tanpa disadari, Megibung menjadi suatu maskot atau ciri khas Kabupaten Karangasem yang ibu kotanya Amlapura ini. Tradisi Megibung sudah ada sejak jaman dahulu yang keberadaannya hingga saat ini masih kerap kali kita dapat jumpai. Bahkan sudah menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat itu sendiri di dalam melakukan suatu kegiatan baik dalam upacara keagamaan, adat maupun kegiatan sehari-hari masyarakat apabila sedang bercengkrama maupun berkumpul dengan sanak saudara. Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat dijumpai pada saat prosesi berlangsungnya upacara adat dan keagamaan di suatu tempat di Karangasem. Seperti misalnya dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Megibung merupakan acara makan bersama yang dilakukan masyarakat Desa Seraya atau Karangasem yang mana 5-7 orang duduk bersila bersama membentuk lingkaran, Nasi yang disuguhkan dan akan dimakan, ditaruh di satu wadah (nare besar), lauk dan pelengkap nasi berupa sate, lawar (makanan Khas Bali), sop dan yang lainnya ditaruh di satu wadah (nare kecil). Megibung dilakukan secara bersamaan dan makan menggunakan tangan. Ada beberapa aturan ketika melaksanakan kegiatan megibung ini yakni pada saat makan tidak boleh ada yang terjatuh di wadah/tempat nasi namun harus di luar nare tempat nasi tersebut dan apabila ada salah seorang peserta megibung ada yang terlebih dahulu kenyang, orang tersebut tidak boleh terlebih dahulu bangun atau meninggalkan tempat megibung namun meski menunggu yang lain supaya selesai makan dan bangun secara bersama-sama. Kegiatan Megibung maknanya sangatlah besar bagi kita semua terutama dalam hal kebersamaan serta saling berbagi satu sama lain tanpa melihat kasta dan materi yang dimiliki seseorang.
Sekian yang dapat saya tuliskan mengenai Tradisi Unik di Desa Seraya, Karangasem, Bali. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak tradisi unik yang ada dimasing-masing daerah yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Sebagai warga masyarakat Bali marilah kita bersama-sama menjaga tradisi yang kita miliki sehingga keberadaannya tidak punah dan ditumbuhkembangkan sepanjang masa. Terimakasih, nantikan tulisan saya selanjutnya yaa..


 Sumber foto : Bali Tours Club dan Youtube.com

Kajian Masalah Perpustakaan : Gedung Perpustakaan

LATAR BELAKANG Perpustakaan Umum atau dalam bahasa inggris adalah public library merupakan perpustakaan yang diselenggarakan oleh...